Rabu, 27 November 2019

JENIS ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERDATA



Jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata diatur Pasal 164 HIR, yakni surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dari sistematika, alat bukti surat memang paling kuat. Tetapi tak selamanya alat bukti surat itu menjamin kemenangan perkara jika terjadi sengketa perdata. Bisa jadi, alat bukti itu tidak mencukupi batas minimal pembuktian; atau alat bukti yang dimiliki pihak lawan jauh lebih kuat.
Itu sebabnya, dalam proses pembuktian pada perkara perdata kehadiran saksi sangat penting. Pasal 1895 KUH Perdata menyebutkan ‘Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang’.

Siapapun yang memenuhi kriteria tersebut dapat diajukan menjadi saksi di pengadilan. Tetapi ada beberapa orang yang dikecualikan. Mereka yang dikecualikan antara lain diatur dalam Pasal 145 HIR. Pada umumnya anggota keluarga sedarah bisa ditolak kesaksiannya, dan mereka boleh mengundurkan diri. Namun, mereka tidak dapat ditolak sebagai saksi jika sengketa yang sedang diadili berkenaan dengan perselisihan sesama anggota keluarga sedarah atau semenda. Misalnya, dalam perkara warisan.
Pasal 139-143 HIR atau Pasal 165-170 RBg. Pasal 143 ayat (1) HIR menyatakan “tidak seorang pun yang dapat dipaksa datang menghadap pengadilan negeri untuk memberi kesaksian di dalam perkara perdata, jika tempat berdiamnya atau tempat tinggalnya di luar keresidenan tempat kedudukan pengadilan negeri itu”.

Berkaitan dengan keterangan saksi sebagai alat bukti, penting untuk memahami kalimat unus testis nullus testis: kesaksian seorang saksi tidak dianggap kesaksian. Pengertian kalimat ini tidak secara harfiah satu orang saksi. Sepuluh orang saksi pun dihitung satu jika saksi yang memenuhi syarat materiil (Pasal 169 HIR) hanya satu orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar